Pandangan mengikut agama Pelancapan

Agama Islam

Firman Allah SWT :"Dan orang-orang yang memelihara kemaluan mereka kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa berkehendak selain dari yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu’minun: 5- 7).

Hal ini bermakna, onani amat ditegah oleh Islam tetapi menurut beberapa orang ulama, onani dibenarkan jika ia boleh mencegah maksiat (menurut Imam Ahmad Hambal & Ibnu Hazmin )

Onani juga diklafikasikan sebagai dosa besar. Islam menggalakkan orang Muslim berkahwin untuk mencegah dosa sebagai berikut:

"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah mampu kahwin, maka kahwinlah; kerana dia itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan." (Riwayat Bukhari)

Agama Kristian

Menurut tradisi, kisah Alkitab Onan dikaitkan dengan tindakan masturbasi dan daripadanya diganjar hukuman, tetapi tindakan yang dideskripsikan oleh cerita ini dipandang sebagai coitus interruptus, bukan masturbasi.[21][22][23][24][25] Di dalam Alkitab tidak ada pernyataan yang menyebutkan secara eksplisit bahwa masturbasi adalah dosa.[26][27]

Mazhab Katolik

Gereja Katolik mengajarkan bahwa masturbasi merupakan suatu tindakan yang secara intrinsik sangat bertentangan dengan keteraturan.[28] Meskipun dikatakan bahwa psikologi dan sosiologi menunjukkan kalau masturbasi adalah fenomena normal dalam perkembangan seksual, terutama di kalangan orang muda, ini tidak mengubah fakta bahwa masturbasi adalah tindakan yang secara intrinsik sangat bertentangan dengan keteraturan. Siapa saja yang dengan sengaja melakukan aktivitas seksual di luar hubungan suami-istri yang normal pada dasarnya melawan kemurnian dan termasuk dalam dosa berat (KGK #2352, #2396).[29] Dengan tegas St Thomas Aquinas mengatakan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dengan hawa nafsu termasuk dalam kategori dosa berat.[30] Hubungan seksual dalam Katolik berpedoman pada aktivitas yang sepenuhnya menyadari arti saling memberi diri dan prokreasi manusia dalam konteks cinta sejati suami-isteri (KGK #2361).[29]

Mazhab Ortodoks Timur

Gereja Ortodoks Timur atau Gereja Kristen Ortodoks dalam pandangan seksualitas sebagai karunia dari Allah yang menemukan pemenuhannya dalam hubungan suami-istri, dan karenanya penyalahgunaan karunia seksualitas manusia adalah dosa. Karena tindakan masturbasi terarah pada diri sendiri, serta pada hakikatnya tidak mampu mengekspresikan cinta dan kepedulian terhadap orang lain, maka dipandang sebagai distorsi penggunaan karunia seksualitas. Hal ini terutama terlihat ketika masturbasi menjadi kecanduan. Pada dasarnya, praktik pemuasan diri dipandang tidak menghormati tujuan dari karunia seksualitas yang diberikan Allah.[31]

Dikatakan bahwa sejak dari para uskup dan teolog gereja Kristen awal seperti Santo Yohanes Krisostomus dan Santo Basilius Agung (330 M) hingga teolog Kristen Ortodoks zaman modern seperti Stanley Harakas, Alexander Schmemann, dan Thomas Hopko, ajaran Ortodoks tentang moralitas seksual tetap konsisten.

Dosa-dosa seksual percabulan, perzinaan, dan masturbasi, seperti halnya kebencian, iri hati, kemabukan dan dosa-dosa lainnya dipandang sebagai dosa dalam hati yang setara dengan dosa badani. Berpaling dari dosa seksual berarti berpaling dari kesenangan pribadi yang tujuannya kepuasan diri. Daripada berpaling ke keinginan daging, umat Kristen Ortodoks perlu berpaling pada Roh Kudus, yang buah-buahnya diyakini adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.[32]

Mazhab Protestan

Dikatakan bahwa sejumlah teolog Protestan menjelang pertengahan abad ke-20 memiliki pandangan yang berbeda dengan paham Kristen sebelumnya. Protestan cenderung mendukung praktik masturbasi, namun beberapa berpendapat bahwa masturbasi merupakan tindakan pemuasan diri dan tergolong dosa kedagingan, serta meyakini bahwa praktik ini adalah dosa karena mengandung hawa nafsu. Beberapa pihak yang mengizinkannya memandang masturbasi dalam konteks perilaku seksual yang diizinkan jika tujuannya adalah mencegah zina, dan sebagai metode menyeimbangkan libido.[33][34]

Agama Yahudi

Maimonides menyatakan bahwa Tanakh tidak secara eksplisit melarang masturbasi.[35] Menurut tradisi, kisah biblis mengenai Onan ditafsirkan oleh kaum Yahudi sebagai pengeluaran sperma di luar vagina dan kecaman daripadanya,[36] serta menerapkan kisah ini untuk masturbasi,[36] kendati Tanakh tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Onan melakukan masturbasi.[36] Berdasarkan kisah Onan tersebut, Yudaisme tradisional mengutuk masturbasi yang dilakukan oleh kaum pria.[35]

Agama Buddha

Formulasi etika Buddhis yang paling banyak digunakan adalah Pancasila. Sila-sila ini berupa usaha-usaha pribadi yang dilakukan secara sukarela, bukan instruksi atau amanat ilahiah. Sila ketiga yaitu "melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila".[37] Bagaimanapun, setiap aliran Buddhisme memiliki interpretasi berbeda dalam hal apa saja yang merupakan "perbuatan asusila".

Buddhisme dikemukakan oleh Buddha Gautama sebagai suatu metode yang melaluinya manusia dapat mengakhiri dukkha (penderitaan) dan keluar dari samsara (putaran eksistensi tanpa akhir). Normalnya hal ini memerlukan latihan meditasi serta mengikuti Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan sebagai suatu cara untuk menundukkan gairah-gairah yang, bersama dengan kelima khandha, menyebabkan penderitaan dan kelahiran kembali. Dengan demikian masturbasi (Pali: sukkavissaṭṭhi) dipandang sebagai masalah bagi orang yang ingin mencapai kebebasan. Menurut suatu pengajaran dari Lama Thubten Zopa Rinpoche, adalah penting untuk menahan diri dari "hubungan seksual, termasuk masturbasi, segala tindakan yang menyebabkan orgasme dan sebagainya, karena hal ini mengakibatkan suatu kelahiran kembali."[38] Ia menjelaskan: "Secara umum, tindakan yang merupakan kebalikan dari sila tersebut mendatangkan hasil negatif yang berlawanan, menjauhkan kita dari pencerahan, dan membuat kita lebih lama berada dalam samsara."[38]